Populasi Burung Walet Menurun

Sebelum menguraikan permasalahan budi daya walet melalui penetasan telur, baik secara alami maupun secara buatan, ada baiknya kita membahas dulu masalah habitat asli walet yang berupa gua kapur (darat) dan gua di tebing-tebing karang (abrasi) yang umumnya terletak di lepas pantai terutama di laut selatan. Kondisi di dalam gua yang dihuni walet umumnya relative basah dan kelembapannya tinggi. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan walet, yakni sebagai burung liar, walet lebih banyak hidup di wilayah iklim tropis basah.

Gua merupakan hunian asli walet sebelum pindah ke habitat baru, seperti rumah-rumah tua dan bangunan yang sengaja dibangun oleh manusia untuk membudidayakannya. Saat ini, walet gua nyaris punah kerana ekseploitasi yang tidak memperhatikan kelestarian hidup atau regenerasi burung penghasil “emas putih” ini. Konon, sarang walet yang berasal dari gua mulai di ekplotasi oleh pemburu sarang sekitar awal abad ke-18. Sebelumnya, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sarang walet bisa di konsumsi dan dijadikan komoditas yang bisa diperdagangkan.

Dari tahun ke tahun populasi walet di habitat aslinya cenderung menurun. Bahkan, beberapa gua di Pulau Jawa dan di Kalimantan kondisinya sangat memprihatinkan dan di sana walet sudah tidak lagi ditemukan atau sudah punah. Dampak dari kondisi seperti ini membuat volume produksi sarang walet alam menurun secara draktis. Contohnya, gua yang berada di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pada zaman penjajahan Belanda, keberadaan walet sebagai penghuni gua belum terusik. Dalam satu periode petik atau panen, bisa diperoleh sarang walet hingga 1,5 kuintal. Namun, sekarang setelah populasi walet merosot, sarang yang diperoleh hanya tinggal beberapa kilogram. Contoh lainnya, pada tahun 1913, di Gua Gajah, di Cibinong, Bogor, Jawa Barat populasi walet terhitung sekitar 250.000 ekor. Namun, dari hasil pengamatan ulang yang dilakukan pada januari 1979, populasinya menurun dan hanya tersisa sekitar 30.000 ekor.

Kondisi gua walet yang berada di wilayah Kalimantan Timur, tidak jauh berbeda dengan kondisi gua di Pulau Jawa. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Perdagangan  dan Perindustrian Provinsi Kalimantan Timur bekerja sama dengan Universitas Mulawarman, gua yang dihuni walet sejumlah sekitar 48 buah. Dari ke-48 gua ini, volume produksi sarang walet yang dipanen dari tahun ke tahun semakin merosot. Penelitian tentang penurunan volume produksi ini juga diperkuat dari hasil polling yang dilakukan di sana. Tujuh puluh tiga persen responden  menyatakan volume produksi sarang di Kalimantan Timur cenderung menurun, 23% menyatakan stabil,  dan 4% menyatakan meningkat.

Pemetikan sarang yang tidak menaati aturan kelestarian atau regenerasi walet di habitat aslinya, selain berdampak kepunahan populasi walet, menyebabkan kemerosotan volume produksi atau hasil sarangnya. Pemetikan sarang walet banyak yang tidak menaati waktu petik sarang rampasan, buang telur, atau penetasan. Penyebab lain adalah kondisi lingkungan di sekitar gua yang tidak lagi bersahabat bagi perkembangan walet. Contohnya, pepohonan yang tumbuh di sekitar gua gundul akibat penebangan liar. Namun, penyebab ini tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan cara pemetikan sarang walet yang terlalu ngawur atau sembarangan.Kita sering mendengar berbagai kejadian yang berkaitan dengan pemungutan atau pemetikan sarang walet dari gua-gua sebagai habitat asli walet. Ada kejadian yang mengenaskan, seperti beberapa pencuri sarang walet tewas di dalam gua karena terjebak banjir bandang atau terjatuh dari tebing. Sementara itu, di Sumatera Utara terjadi pertengkaran antara anggota DPRD dan masyarakat di sekitar  gua walet karena memperebutkan hak pengolahan sarang walet berkaitan dengan otonomi daerah. Berbagai kejadian pencurian sarang walet dan perebutan hak pengelolaan seperti ini menjadi salah satu penyebab rusaknya habitat dan hancurnya kelestarian walet.

Pada zaman pemerintahan Kaisar Ming (sekitar abad ke-14), perburuan sarang walet sudah dilakukan. Pada masa itu, pemburu sarang walet mendatangi gua-gua tebing (abrasi) yang ada di sepanjang pantai Laut Cina Selatan. Kemudian pencarian sarang walet ini meluas sampai ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Sulawesi, dan beberapa derah di kepulauan Indonesia lainnya.

Di Indonesia, cikal bakal perburuan sarang walet di habitat aslinya diperkirakan sudah ada sejak tahun 1700-an, yakni di Gua Karang Bolong yang terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Tidak lama kemudian, pencarian sarang walet mulai menyebar ke beberapa daerah , seperti Gresik dan Tuban ( Jawa Timur); Rembang, Tegal, Semarang, dan Lasem (Jawa Tengah); dan di pinggiran pantai utara Jawa. Selain di Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Riau, Sulawesi Selatan, serta Nusa Tenggara Timur dan Barat juga memiliki kekayaan sarang burung gua yang dihasilkan oleh walet sarang putih (Collocalia Fuciphagus) dan walet sarang hitam (Collocalia Maximus).

Penduduk yang tinggal di sekitar Gua Kali Baru, di Malang Selatan, menceritakan bahwa awalnya tidak ada satupun penduduk yang tahu jika gua yang dihuni burung cokelat itu bisa menghasilkan sarang dan dijual dengan harga jutaan rupiah. Penduduk di sekitar gua itu justru menangkap  penghasil sarangnya atau waletnya  untuk dimasak. Sekali menangkap, mereka bisa memperoleh puluhan ekor walet. Kekurang-pengetahuan masyarakat mengenai perilaku dan kehidupan walet ini juga menjadi penyebab menurunnya populasi walet di habitat aslinya.

Jumlah gua darat (kapur) yang dihuni oleh walet lebih sedikit dibandingkan dengan gua abrasi. Dengan demikian, jumlah populasi walet di gua abrasi tentu lebih banyak. Di Pulau Jawa, jumlah gua darat dan gua abrasi yang dihuni walet sekitar 300 buah. Beberapa di antaranya Gua Karang Bolong, Karang Pasir, dan Karang Duwu. Sementara itu, gua yang ada di luar Pulau Jawa sampai saat ini belum terdeteksi berapa jumlahnya. Hanya beberapa gua di pantai timur Provinsi Jambi, gua di pesisir Kalimantan Timur, pesisir Aceh, Lampung, dan Sumbawa yang sudah terdeteksi.